ciamis ngeblog

tips kesehatan | kumpulan doa I puisi | download mp3 | blog berbagi

free download mp3

Hancurkan Kebinatanganku



Pada setiap raka’at sembahyang yang tanpa
duduk tahiyat,Anda memerlukan tahap transisi
ruku’ dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda
melakukannya langsung tanpa ruku’.

Ini acuan pertama.

Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat
Allah Swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.

Pertama, tentu saja Allah yang Akbar.Lantas ia sebagai Rabbun. Selanjutnya, Rahman dan
Rahim. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai Malik. Dan akhirnya Allah yang ‘Adhim dan A’la.

Kedudukan Allah sebagai Akbar atau Yang
Maha Lebih Besar (Ia senantiasa terasa lebih
besar, dinamis, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita) — kita ucapkan untuk mengawali shalat serta
untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.

Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang
ketidakterhinggaan kebesaran-Nya.

Si Maha Lebih Besar yang dahsyat itu
bukannya mengancam dengan kebesaran-Nya,melainkan mengasuh kita melalui fungsi-Nya sebagai Robbun.

Sebagai Yang Maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang. Rahman dan Rahim. Penuh cinta dalam konteks hubungan
individual Ia dengan Anda, maupun dalam konteks hubungan yang lebih ‘heterogen’ antara Ia dengan komprehensi kebersamaan
kemanusiaan dan alam semesta.

Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja. Ia
Malik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.

Dan memang hanya Ia yang berhak penuh
merangkum seluruh kedudukan itu hanya dengan diri-Nya yang Sendiri, tanpa kita
khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran — yang pada budaya kekuasaan
antar manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.

Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai ‘Adhim dan A’la. Yang Mahabesar (horizontal)
dan Mahatinggi (vertikal).

Yang ingin saya kemukakan kepada Anda
adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A’la, Yang Mahatinggi itu, tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang.
Artinya, kalau kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.

Ketika kita beroperasi setengah binatang,waktu ruku’ bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki — yang kita sadari adalah Allah sebagai ‘Adhim.

Dan ketika kita berdiri (qiyam), Allah yang kita
hadapi adalah Allah Rahman, Rahim, dan Malik. Binatang yang ‘ruku’ dan ‘sujud’ tidak
memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan
dengan Maliki Yaumiddin. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau
neraka.

Ketika kita ‘menjadi’ binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku’,kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku.
Maka kita ucapkan subhana robiiya…. bukan subhana robbina.

Subyek ‘aku’, dengan aksentuasi egoisme,
individualisme, egosentrisme, dst lebih dekat ke kebinatangan, dan itu yang harus kita sujudkan ke hadapan Allah Swt.

Adapun ketika kita berdiri, ‘qiyam’, kita menjadi
manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi ‘aku’ melainkan ‘kami’. Artinya,
tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya,kebersamaannya,integritas kanan-kirinya. Kalau binatang, secara naluriah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah mereka tidak dituntut atau ditagih tanggung
jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara
binatang dan manusia. Itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru
memuliakannya.

Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita
ber-takbiratul ihram dan berdiri ‘sebagai manusia’, Allah menyuruh kita untuk berlebih
dahulu menyadari kebinatangan kita dalam
sujud, melalui transisi ruku’. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri
kembali sebagai manusia.

Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang
urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia — ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud.Agar supaya kebinatangan di minimalisir.

Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak sujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar,dan takabbur.

sumber : muhammad ainun nadjib
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori esai | kumpulan puisi ema ainun nadjib dengan judul Hancurkan Kebinatanganku . Jika kamu suka, jangan lupa like dan bagikan keteman-temanmu ya... By : ciamis ngeblog
Share on :
by: Unknown

Belum ada komentar untuk "Hancurkan Kebinatanganku "